Kelompok Mayoritas-Minoritas
sebuah Keniscayaan
|
Ditulis oleh Humaidi
|
Selasa, 08 Maret 2011 18:56
|
Reporter: Humaidi
Auditorium, BERITA UIN Online - Adanya kelompok mayoritas dan minoritas dalam tatanan
sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan keniscayaan. Sebab, hal itu
sebagai takdir Tuhan, sehingga di dunia mana pun, tak terkecuali di
Indonesia, kedua kelompok tersebut akan selalu ada.
Hal itu dikatakan Pembantu Rektor Bidang Pengembangan
Lembaga dan Kerja Sama UIN Jakarta, Dr Jamhari, pada seminar bertema
"Konflik Minoritas Agama dan Peran Lembaga Pendidikan Tinggi
Islam," di Auditorium Prof Dr Harun Nasution, Sabtu (5/3).
Narasumber lain yang hadir adalah dosen IAIN Raden Intan,
Lampung, Dr. Syamsuri Ali, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung,
Dr. Acep Arifuddin, dan Wini Trianitas. Ketiganya adalah alumnus Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta.
Menurut Jamhari, munculnya kelompok minoritas dan
mayoritas karena diakibatkan oleh beberapa faktor seperti imigrasi, politik
dan ekonomi. Khusus di negara Eropa, faktor imigrasi merupakan faktor utama.
Ia mencontohkan imigrasi umat Islam ke beberapa negara Eropa yang berasal
dari beberapa negara Timur Tengah, seperti Pakistan, Afganistan, dan Irak.
“Ketika para imigran hadir dengan jumlah besar dan
membentuk sebuah identitas tersendiri, di sinilah muncul konflik kelompok
minoritas dan mayoritas,” kata Jamhari.
Lebih jauh Jamhari menjelaskan bahwa ketika para imigran
tersebut berkelompok dan membentuk sebuah identitas, maka terjadilah apa yang
disebut sebagai perebutan poilitical identity. Bagi yang minoritas,
mereka tinggal bersama dan membangun jaringannya sendiri. Mereka solid baik
dalam ekonomi maupun budaya.
Ada beberpa model yang dilakukan oleh beberap negara dalam
menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas. Jika melihat kepada sejarah
masa lalu akan ditemukan sesuatu yang buruk telah terjadi. Hal tersebut
dikarenakan cara-cara yang digunakannya, misalnya, pertama, dengan cara
pembinasaan, seperti kasus pembinasaan umat Yahudi di beberapa negara di
Eropa atau umat Muslim di Bosnia. Kedua, dengan cara asimilasi secara paksa
untuk mengikuti budaya mayoritas, seperti di masa Orde Baru. Ketiga, dengan
cara mengisolasi kelompok minoritas.
“Negara yang dikuasai oleh agama justru sangat sulit dalam
menyelesaikan konflik minoritas agama, seperti yang terjadi di Indonesia
akhir-akhir ini. Sebaliknya, model negara modern (modern state) yang
memisahkan antara agama dan negara seperti Amerika, Kanada, dan Selandia Baru
cukup berhasil dalam menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas,” katanya.
Dalam model modern state ini, jika ada konflik yang
berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu, maka konflik tersebut harus
diselesaikan di pengadilan. Walaupun demikian, tidak seluruh negara yang menggunakan
model modern state dapat berhasil dalam menyelesaikan konflik minoritas dan
mayoritas. Contohnya adalah Filifina yang mana undang-undang yang diterapkan
seratus persen mencontek negara Amerika.
Adapun upaya yang telah dan akan dilakukan oleh SPs UIN
Jakarta sebagai lembaga perguruan tinggi Islam dalam mengatasi konflik
mayoritas-minoritas yaitu berpijak pada pemikiran yang dikembangkan oleh Prof
Dr Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek.
Menurut Jamhari, Harun Nasution yang mantan Rektor IAIN Jakarta itu
memberikan inspirasi untuk selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu
aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan
teologi. “Kalau Anda bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka Anda bisa
menoleransi perbedaan di luar Islam,” katanya.
|
Sumber :
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/1-headline/1840-kelompok-mayoritas-minoritas-sebuah-keniscayaan.html